2,651 Views
No Copas, No PlagiatPlagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri.[1] Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator. (Sumber: Wikipedia)
Seorang seniman baru saja melahirkan sebuah karya di sebuah rumah sakit terkenal. Ia menamai karya itu dengan nama ‘KEBEBASAN-Sebuah Refleksi’. Sebagaimana orangtua lain yang baru saja memiliki anak, seniman itu berharap kalau si karya nantinya dapat tumbuh besar dan bisa menjadi anak yang berguna. Sesuai dengan nama yang ia beri pada karyanya, KEBEBASAN-Sebuah Refleksi. Nama adalah doa, pikirnya.
Dengan penuh kasih sayang, dirawatnya karya itu. Diberinya air susu murni dari telaga bening di hatinya. Dielus dan dibelainya dengan penuh mesra. Hingga akhirnya tibalah saatnya ia dan karya kecilnya untuk keluar dari rumah sakit. Namun, betapa terkejutnya sang seniman itu tatkala ia diberitahukan oleh petugas rumah sakit bahwa ia tak bisa pulang bersama dengan karyanya. Alasannya klise: Ia menunggak sejumlah biaya. Memaksanya untuk pulang ke rumah sendirian dengan berat hati.
Berulangkali ia memohon pengertian dari pihak rumah sakit. Ia menjerit. Memelas dan menangis. Ia berjanji akan segera melunasi tunggakannya. Bila perlu hingga tiga kali lipat. Ia memang seniman baru yang tak berduit. Cuma satu yang ia punya: Harga Diri. Harga dirilah yang memaksanya untuk bisa terus berkumpul bersama karyanya dan mempertahankannya. Tetapi hingga air matanya kering, pihak rumah sakit enggan memberinya keringanan sedikitpun. Tiga bulan adalah waktu klimaks yang dijanjikan oleh pihak rumah sakit atau ia takkan bisa melihat karyanya lagi untuk selama-lamanya.
Sang Seniman tahu diri. Bagaimanapun ia adalah rakyat kecil. Rakyat kecil hanya bisa menutup mulut, mata, dan telinganya jika berhadapan dengan orang besar. Dengan hati yang pedih Sang Seniman berusaha mengais rejeki. Sedikit demi sedikit. Ia bekerja keras. Tak peduli siang atau malam. Setiap hari ia bermandikan peluh. Semua hasil kerja plus doa tiap tahajjud itu ia persembahkan untuk kebebasan karya kecilnya yang ditahan di rumah sakit.
Tiga bulan sudah ia menunggu. Uang pun telah terkumpul. Dengan hati riang, ia melangkah ke rumah sakit. Nyatanya prosedural rumah sakit yang sedikit rumit membuatnya harus tetap bersabar. Kebebasan karya kecilnya adalah hal yang utama. Bagaimanapun itu adalah tujuannya untuk merendahkan dirinya di hadapan rumah sakit.
Menit demi menit Ia tunggu. Jam demi jam berusaha mengikis rasa sabarnya. Tapi ia tak peduli lagi. Wajah karya kecilnya sudah terbayang-bayang di mata. Hingga akhirnya ia dipanggil juga oleh petugas administrasi,
“Orangtua Kebebasan?”
“Ya, saya…”
“Maaf,…” Petugas memperhatikan wajah sang seniman dengan pandangan jijik. Dihadapannya bagai terpampang kotoran sapi sebesar manusia lengkap dengan celana kolor dan kaos butut. “Silakan masuk,”
Sang seniman dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan terpencil disalah satu sudut rumah sakit. Awalnya ia sedikit dibingungkan oleh keadaan saat ia akhirnya harus masuk ke sebuah kamar mayat.
“Maaf, Bu. Karya Ibu tidak bisa diselamatkan. Ia sebenarnya menderita penyakit Cardiac Failure. Ia memang tak diperbolehkan untuk dibawa pulang karena harus dilakukan penanganan khusus yang membutuhkan biaya besar…”
“TIDAKKK…!!!! TIDAKKKK MUNGKIN!! Karya saya sebelumnya sehat, tak ada keluhan apapun…!!!!! ” Jerit histeris yang disertai tangis dari sang seniman bergema ke seluruh penjuru ruangan. Bahkan hingga ke teras rumah sakit. Langit mendadak mendung oleh kepiluan dan hati sakit teriris dari sang seniman.
“Maka dari itu askes tidak bisa menjamin biaya pengobatan karya Ibu. Kami menyuruh Ibu mengumpulkan uang untuk menutupi kekurangannya. Tapi, karya Ibu keburu meninggal. Kami pun membebaskan biaya…”
Bla, Bla, Bla… Rangkaian kata-kata petugas administrasi bagaikan hantaman bom atom Hiroshima di dada seniman. Jdar!!! Jdur!!! Jder!! Suara Halilintar terdengar mengaum-ngaum di atas langit yang berwarna keabuan. Hujan deras sepertinya akan mengguyur rumah sakit siang ini.
Sang seniman tak peduli. Dia hanya berusaha pasrah dan ikhlas menerima segalanya. Menginginkan karyanya hidup kembali adalah sebuah angan kosong belaka. Tapi, heran! wajah sang karya tidak persis sama seperti yang diingatnya kemarin sore sesaat setelah ia meninggalkannya di rumah sakit. Dia tak menemukan tahi lalat yang menempel di hidung karyanya. Juga tanda lahir di lengan kirinya. Tapi sekali lagi, dia hanya bisa menerima keputusan pahit dari pihak rumah sakit dan membawa pulang karyanya yang telah mati dan terpaksa menguburnya.
***
Pagi yang cerah ceria bagi sang seniman. Terburu-buru ia membuka mata dan menahan rasa kantuk demi keinginannya untuk melihat koran pagi ini. Sejumlah koran pagi yang baru saja diantar sudah bertengger manis di halaman rumahnya.
Headline surat kabar kembali memuat karyanya yang kesekian. Sang seniman langsung sumringah. Dia juga menemukan beberapa karyanya yang lain yang juga sukses menembus surat kabar nasional. Karya-karya yang telah dia hasilkan berkembang dan terus merekah lebih dari yang ia harapkan. Tetapi, tiba-tiba matanya tertumbuk pada judul sebuah berita yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ia seakan-akan mengingat kembali sebuah peristiwa yang telah ia kubur dalam-dalam, KEBEBASAN-Sebuah Refleksi.
Ya, KEBEBASAN-Sebuah Refleksi baru telah lahir. Lengkap dengan rangkaian huruf yang ia ciptakan. Sama persis. Ia bereinkarnasi. Namun lupa pada pemilik yang telah melahirkannya, Sang Seniman. Ia menamakan dirinya sebagai orangtua dari Sang PLAGIAT!!!!!!
Senjata terbaik untuk memerangi para plagiat adalah dengan menyediakan banyak karya-karya yang berkualitas yang akan terus berkembang dan berkembang hingga langit pun memuji karya itu lewat matahari yang bersinar cerah atau lewat hujan yang menyejukkan.—Molzania