2,282 Views
Berbicara mengenai etika pada dasarnya merupakan hal yang wajib untuk dijalankan. Manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Etika sendiri menuntut kita untuk selalu memanusiakan manusia lain. Secara tidak langsung ini juga akan berdampak pada diri sendiri. Apalagi di era teknologi sedang gencar-gencarnya saat ini. Sosial media ialah contohnya. Lantas bagaimana dengan etika kita di sosial media?
Ya, tentu saja. Sosial media juga memiliki etika. Seiring dengan banyaknya penggunanya, maka peran sosmed pun menjadi besar di kehidupan kita. Menurut kegunaannya, sosial media itu hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi dengan orang lain secara jarak jauh. Intinya tetap komunikasi atau melakukan kontak dengan orang lain. 
Jadi beberapa waktu lalu, ada seorang teman Molzania mencak-mencak di laman Facebooknya. Dia mengeluhkan isi timelinenya yang penuh dengan berita korban pembunuhan. Mirisnya ternyata di dalam berita tersebut juga dicantumkan foto penemuan jenazah sang korban. Tanpa disensor. Atau setidaknya diblur.
Tindakan main share seperti ini tentunya sangat merugikan orang lain. Mungkin si korban tidak bisa menyaksikan secara langsung, tetapi ahli keluarga dan kerabatnyalah yang menyaksikan. Si teman temannya Molzania ini bukan bagian dari keluarganya. Tapi setidaknya adalah sedikit empati ketika menshare foto jenazah tanpa blur. Bahkan ketika Molzania menyaksikan jenazah uwak Molzania yang sudah meninggal disebarkan melalui Facebook, seketika itu juga Molzania menjadi marah. Meskipun itu masih keluarga sendiri.

Apakah Foto Jenazah itu Buat Lucu-Lucuan?
Apakah Sendirinya Tidak Merasa Sedih Melihatnya?
Apakah Karena Kepengen Eksis Kita Merugikan Orang Lain?
Molzania menyetujui argumen teman Molzania ini. Ya, dia benar. Absolutely. Lebih mirisnya malah terkadang foto tanpa sensor ini pun Molzania temukan di portal berita mainstream. Seketika Molzania mencoba untuk mengiingat-ingat lagi dosa masa lalu. Mungkin Molzania juga pernah asal share masalah serupa. Dan Molzania berusaha untuk tidak mengulanginya. Jika suatu ketika diingatkan kembali, maka Molzania akan langsung menghapusnya. 
Ada lagi peristiwa lainnya. Seorang teman berbagi foto seorang kerabatnya yang tengah terbaring koma di rumah sakit. Hampir seluruh tubuhnya diperban. Untungnya mukanya nggak kelihatan. Ditutup oleh aneka gambar emoticon sebesar kepala kerabat itu sendiri.  Pada caption diceritakan kalau kerabatnya ini barusan mengalami kecelakaan. Juga himbauan untuk minta didoakan oleh netizen.
Fatalnya foto ini lalu disebarluaskan ke sebuah grup masak-memasak. Seketika foto ini dihujani like dan comment dari netizen. Bukannya kasihan, Molzania justru merasa geram. Molzania lantas menanyai apakah keluarga korban mengetahui jika foto musibah ini disebarluaskan. Lain kalau halnya foto “beliau” sudah mendapat persetujuan keluarga. Tentu tidaklah mengapa. Biarpun hal tersebut juga melanggar privacy.

Meskipun tujuannya mungkin baik. Tapi tidak untuk jangka panjang. Semua foto di sosial media boleh didownload dan diupload oleh semua orang. Molzania sering melihat banyak akun palsu dibuat untuk membagikan foto-foto yang sekiranya bisa menuai perhatian orang banyak. Takutnya foto sang kerabat ini lalu dimanfaatkan oleh orang yang tak bertanggungjawab. 

Lha wong foto biasa aja nggak seksi pakai hijab dan busana syar’i masih bisa dicolong oleh orang-orang berpenyakit jiwa yang menyebut dirinya kaum fetish?

Kisah tentang akun facebook “Cicih Suricih” bisa jadi pelajaran. Mungkin sebelumnya ada yang tidak ngeh termasuk Molzania sendiri. Tetapi ketika iseng melihat akun facebooknya barulah terungkap mengenai sosoknya. Disana dia menampilkan diri sebagai orang misterius bercadar yang mengenakan serbet sebagai penutup mukanya. Konon penyebabnya karena istrinya meninggal dunia.
Ada beberapa teman akhwat Molzania yang menjadojadi takut posting foto pribadi gara-gara ini. Itu urusan mereka sih, Tapi bagi Molzania sendiri sepanjang foto yang kita posting termasuk kategori aman tidaklah mengapa. Bagaimana foto yang berkategori aman? Tentunya foto berbusana tertutup dan rapi. Ini tidak hanya berlaku bagi orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak.
Justru kebiasaan posting foto “mengundang” ini banyak dilakukan oleh ibu-ibu muda. Terutama ketika posting foto anak-anak mereka. Iya, memang anaknya lucu dan comel. Pingin dicubit gemes tiap hari. Jadi merasa perlu diabadikan di sosial media. Sedikit-sedikit cekrek. Kalau mau makan cekrek, kalau mau mandi cekrek.
Tapi jangan ketika sedang tidak berbusana juga diupload ke sosial media. Apapun itu. Konon foto-foto anak habis mandi seperti ini dihargai 20 dollar per fotonya. Nggak mau kan foto anak-anak kita diperjualbelikan. Para pedofilia mengincar foto-foto yang seperti ini. Jadi usahakan ketika memfoto anak-anak mereka dipakaikan busana terlebih dahulu.
Bicara soal etika sosial media ternyata lumayan juga. Banyak hal yang sepertinya remeh, ternyata kalau dijabarkan malah jadi panjang. Mudah-mudahan artikel ini menambah pengetahuan sobat-sobat semua. Jangan lupa bagikan ke teman-teman sosial media jika bermanfaat. Ditunggu ya artikel selanjutnya. Salam hangat dari Molzania. ^_^
Baca Juga:  Acer Liquid E3, Si Handal Berteknologi Maksimal

Pin It on Pinterest

Share This