negara. Tercermin dalam pasal 31 Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
pemerintah harus mengupayakan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh
Indonesia. Melalui pendidikan yang berkualitas maka akan muncul generasi yang
berkualitas dan berakhlak mulia yang diharapkan mampu membuat Indonesia lebih
baik lagi di masa depan.
adalah negara yang menganut pemerintah desentralisasi atau yang lebih dikenal
dengan otonomi daerah. Artinya pemerintah menyerahkan kekuasaan kepada daerah
untuk melaksanakan pemerintahan sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh
Undang-Undang. Melalui otonomi daerah diharapkan masing-masing daerah dapat
bersaing sesuai prinsip demokrasi sehingga penyamarataan keadilan berdasarkan potensi
dan keragaman daerah di NKRI dapat berjalan dengan baik.
dalam pelaksanaannya ternyata daerah-daerah otonom tidak dapat berjalan dengan
baik bila tidak didukung oleh pemerintah pusat. Terutama dalam hal pembiayaan.
Daerah otonom tidak bisa mengandalkan pajak daerah saja untuk pemasukan kas
daerah. Oleh karena itu harus adanya sinergi yang jelas dan kokoh antara
keduanya sehingga negara bisa berjalan dengan baik.
halnya kesehatan, pendidikan juga memegang peranan penting dalam membangun
masyarakat yang berkualitas. Atas alasan tersebut beberapa tahun lalu
pemerintah pusat membuat kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan yang
diharapkan mampu membuat pendidikan di Indonesia merata dan menyeluruh.
Kebijakan tersebut kita kenal dengan nama Ujian Nasional (UN).
Nasional (UN) sejak awal pelaksanaannya sudah mengandung pro dan kontra di
masyarakat. Tidak hanya para guru dan siswa yang mempertanyakan kebijakan
tersebut. Tetapi juga sejumlah pengamat politik dan pendidikan. Bagi mereka,
Ujian Nasional (UN) sangatlah tidak efektif untuk mengukur kemampuan siswa
secara keseluruhan. Sebagian mereka yang pro UN menganggap langkah pemerintah
tersebut sudah tepat. Pemerintah bergeming dengan tetap melaksanakan UN.
Nasional (UN) pada dasarnya memang ditujukan untuk mengukur dan membandingkan
kemampuan siswa di masing-masing daerah. Itu adalah langkah yang bijak. Dengan
begitu, pemerintah bisa mengetahui daerah mana yang mutu pendidikannya harus
ditingkatkan lagi. Namun, permasalahan yang
timbul di kemudian hari apabila pemerintah menerapkan standardisasi
nilai UN ditengah mutu pendidikan yang masih dilanda ketimpangan.
2004 merupakan malapetaka bagi sejumlah besar siswa kelas akhir yang mengikuti
UN. Saat itu pemerintah menetapkan
standardisasi nilai UN untuk pertama kalinya sebesar 4,00. Para pelajar itu diharuskan untuk memiliki
nilai minimal 4,01 pada masing-masing mata pelajaran yang diujikan untuk bisa
lulus. Angka kelulusan pada tahun itu mencapai 71,55 persen. Siswa yang tidak
lulus mencapai hampir 30%. Kebanyakan siswa yang tidak lulus itu berasal dari
wilayah-wilayah rawan konflik seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Papua dan
Maluku.
fakta menyedihkan seperti itu, pemerintah tetap “tebal muka”. Sentralisasi
Ujian Nasional tanpa mempertimbangkan aspek mutu pendidikan di daerah terus
berlanjut. Dan memang tahun-tahun selanjutnya angka kelulusan terus merangkak
naik. Pemerintah seakan bangga dengan rekor tersebut. Seakan-akan kinerjanya
berhasil untuk melakukan penyamarataan pendidikan di Indonesia.
selanjutnya, Ujian Nasional menjelma menjadi monster bertaring yang sungguh
menakutkan bagi seluruh guru, orangtua dan siswa. Sebagai guru, mereka khawatir
anak didik mereka tidak lulus UN sehingga berdampak pada reputasi sekolah.
Sementara bagi siswa dan orangtua, tidak lulus UN berarti hal yang sangat
memalukan. Harga diri jatuh karena dianggap bodoh sehingga tidak lulus.
secara mental tersebutmembuat siswa merasa dilanda kecemasan yang berlebihan
dalam menghadapi UN. Akibatnya perilaku curang pun tak dapat dihindari. Telah
menjadi rahasia umum bahwa kebocoran jawaban naskah UN seringkali terjadi. Tak
jarang, guru dan kepala sekolah turut andil di dalamnya. Melihat kenyataan
tersebut, pemerintah masih menutup mata, hati dan telinga terhadap kasus yang
mencoreng pendidikan di indonesia. Akibatnya pendidikan hanya berjalan di
tempat, sementara siswa terus-terusan dijadikan kelinci percobaan.
ini, pemerintah mengupayakan terobosan baru bagi Ujian Nasional. Untuk mencegah
praktik kecurangan, pemerintah pusat menerapkan sistem 20 paket untuk satu
kelas. Artinya satu siswa mendapat satu paket soal sehingga diharapkan siswa
bisa fokus dengan soalnya sendiri. Lebih dari 600 milyar Rupiah dikucurkan
untuk proyek UN sistem baru tersebut. Namun hasilnya justru lebih mengecewakan.
2013 disebut-sebut sebagai ujian nasional yang terparah dalam sejarah UN.
Penyelenggaraan UN tidak bisa dilakukan secara serentak di 11 Provinsi di
Indonesia. Beberapa sekolah bahkan mengadakan UN pada siang dan malam hari. Hal
ini tentu mengakibatkan kerugian moril dan materiil yang lagi-lagi menimpa
siswa sebagai peserta UN. Bahkan, pengelolaan tender yang tidak maksimal
mengakibatkan kualitas kertas soal dan LJK UN juga tidak maksimal. Berakibat
seorang siswa di salah satu SMU di Palembang terpaksa menyelenggarakan UN
ulangan pada siang hari di Universitas Sriwijaya dikarenakan kertasnya bolong.
Bahkan seorang siswi di Medan terserang stroke pada malam sebelum UN
dikarenakan akumulasi kecemasan terhadap UN.
Kecarutmarutan pelaksanaan UN 2013 tentunya
menimbulkan keprihatinan. Langkah yang harus dilakukan pertama kali adalah
menghapus Ujian Nasional dari kurikulum pendidikan. Standardisasi UN tidak
efektif untuk menyamaratakan kualitas pendidikan di Indonesia. Malah
sebaliknya, UN hanya menghabiskan sejumlah besar uang negara yang
ujung-ujungnya dapat dikaitkan dengan tindakan korup yang menguntungkan pribadi
pejabat pemerintahan
Langkah kedua
yang harus dilakukan adalah desentralisasi pendidikan. Pemerintah harus
melakukan penyerahan sistem pendidikan kepada daerah untuk selanjutnya daerah
menyerahkan sepenuhnya standardisasi nilai kepada sekolah dan guru. Terutama
dalam hal pengadaan soal dan pendistribusiannya. Dengan begitu diharapkan
kisruh yang selama ini melanda setiap pelaksanaan ujian nasional dapat
diminimalisir. Bagaimanapun daerah mengetahui potensi dan kebutuhan
masyarakatnya. Sementara sekolah dan guru mengetahui benar potensi dan
kebutuhan murid-muridnya.
Jika guru dan
sekolah memegang peranan standardisasi UN, maka pemerintah hanya perlu
melakukan pembinaan dan pelatihan kepada guru dan pihak sekolah. Tentunya hal
ini lebih menghemat uang negara dan mampu mencerdaskan bangsa. Guru yang
berkualitas akan menghasilkan siswa yang berkualitas pula.
Selama ini
sistem pendidikan hanya dipusatkan di daerah Pulau Jawa. Tercermin dari
buku-buku pegangan siswa di sekolah yang lebih banyak berorientasi pada geografi
dan masalah-masalah sosial yang terjadi di pusat negara yaitu di Pulau Jawa.
Padahal geografi dan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masing-masing
daerah tidaklah sama. Akibatnya siswa menjadi bingung dalam mengaplikasikan
ilmu mereka di daerah sehingga para pencari kerja lebih banyak yang merantau ke
daerah Jawa. Pulau Jawa pun menjadi pulau terpadat di Indonesia.
pemerintah menyerahkan sepenuhnya pendidikan pada daerah masing-masing, maka
daerah bisa menyesuaikan pelajaran sekolah dengan kearifan lokal masing-masing.
Siswa pun lebih mudah mencerna materi yang disampaikan. Percetakan-percetakan
buku daerah yang mati suri selama ini bisa dihidupkan kembali. Sehingga tidak
hanya kekisruhan ujian nasional yang bisa diatasi, tetapi perekonomian daerah
juga bisa ditingkatkan lagi.
UN lewat standardisasi nilai hanya
akan menganggu bangsa Indonesia. Selain merampas hak guru sebagai penentu
kelulusan, Ujian Nasional juga membuat para generasi penerus bangsa ini menjadi
generasi yang penuh dengan kebohongan. Lulus dengan mengharapkan bocoran soal.
Selain itu nama baik guru juga tercoreng karena negara bersikap apatis atau
tidak percaya bahwa guru memahami potensi siswanya. Menghapus UN berarti juga
melenyapkan monster bertaring yang selama ini menganggu pendidikan di Negara
Indonesia.