Namanya Bapak AKP Dwi Angga Caesario, SIK, P.P, M.Si. Saat ini beliau menjabat sebagai Kapolsek Kalidoni. Beberapa bulan lalu, Molzania pernah membuat sekilas singkat tentang kiprah Polsek Kalidoni dalam memberantas curanmor di Palembang.
Saat tahu Pak Angga cerita pernah menjadi pasukan perdamaian PBB di Sudan tahun 2020 lalu. Dari situ lumayan banyak Sobat Molzania yang kepo pingin tahu gimana cerita lengkapnya. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan tentunya.
Waktu itu, Molzania mampir ke kantornya beliau. Nah kali ini ternyata Pak Kapolsek datang berkunjung ke rumah. Langsunglah Molzania todong wawancara pengalaman beliau jadi pasukan perdamaian PBB.
Untungnya sih Pak Angganya mau ceritain pengalaman berkesannya itu. Selama kurang lebih dua tahun, Pak Angga bertugas di daerah Sudan. Apa aja sih hal-hal seru yang telah beliau lalui?
Semua Berawal dari Mimpi
Dalam ceritanya kepada Molzania, Pak Angga berseloroh kalau dia sudah memimpikan bergabung menjadi Pasukan Perdamaian PBB sejak lama. Tepatnya saat masih menempuh pendidikan di Akpol.
Pak Angga bercerita kalau beliau kagum sama kakak-kakak tingkatnya yang terpilih menjadi pasukan perdamaian PBB. “Kok, keren banget, ya?” kenang Pak Angga.
Setelah lulus dari Akpol beberapa tahun kemudian, barulah Pak Angga memberanikan diri untuk mendaftar. Menurutnya dalam proses rekrutmen tersebut bukan sesuatu hal yang mudah.
Soalnya kuota yang disiapkan untuk Kepolisian RI terbilang sedikit. Sehingga beliau harus melalui seleksi yang ketat untuk dapat lolos. “Nggak seperti TNI yang kuotanya mencapai ribuan”, ceritanya.
Alhamdulillah, Pak Angga bisa lolos seleksi. Menurutnya dalam proses rekrutmen, biasanya PBB mengutus tiga perwakilan; polisi, tentara dan sipil.
Setelah resmi terpilih, Pak Angga tak lantas bergabung menjadi Pasukan Perdamaian PBB. Tetapi dia mesti kursus Bahasa Arab dulu selama 3 bulan. Soalnya di Sudan, rakyatnya biasa menggunakan Bahasa Arab dalam keseharian.
Kapolsek Termuda Palembang yang Pernah Jadi Pasukan Perdamaian PBB
Usianya baru menginjak 29 tahun, saat Ia diangkat menjadi Kapolsek Kalidoni, Palembang. Di kota pempek ini, Pak Angga boleh dibilang merupakan kapolsek termuda yang berprestasi. Terpilih sebagai pasukan perdamaian PBB, Pak Angga tugasnya menjadi pasukan keamanan.
Sebetulnya tak berbeda jauh dengan pekerjaannya di Indonesia. Akan tetapi, di sana Pak Angga lebih banyak mengawal para perwakilan PBB yang bertugas di Sudan.
Organisasi PBB membentuk kompleks tersendiri yang dihuni oleh lebih kurang 10.000 orang. Mereka semua terdiri dari warga sipil, tentara dan polisi dari berbagai negara. Termasuk orang Indonesia, meskipun jumlahnya tak terlalu banyak.
Mereka tinggalnya di rumah-rumah sementara yang terbuat dari peti kemas. Sehari-hari, bila ada yang keluar dari kompleks PBB mereka harus dikawal oleh polisi dan tentara.
Suara tembak-menembak sudah menjadi makanan sehari-hari. Umumnya yang bertikai itu antar masyarakat Sudan itu sendiri. Pasukan perdamaian PBB tidak boleh turut campur urusan mereka.
Hanya saja bila ada korban yang membutuhkan pertolongan, barulah PBB boleh turun tangan. Para korban perang saudara tersebut diungsikan ke kamp pengungsi. Status mereka ada yang menjadi Internaly Displaced Person (orang yang tidak memiliki tempat tinggal).
“Jadi PBB mengenal dua jenis pengungsi; refugees dan IDP. Refugess itu untuk pengungsi yang minta suaka atau pertolongan ke negara lain. Sementara itu IDP untuk pengungsi yang tidak memiliki tempat tinggal di negaranya. ” jelas Pak Angga kepada Molzania.
Bikin Kangen di Sudan, Bukan Makanan Ternyata
Untuk makanan sehari-hari, Pak Angga tak perlu kesulitan. Soalnya di sana sudah ada koki khusus yang didatangkan langsung dari Indonesia. Kebutuhan sehari-hari pasukan perdamaian dipasok langsung oleh PBB.
Jadi setiap satu minggu sekali, PBB akan mengirimkan bahan makanan yang sudah dipesan dari minggu sebelumnya. Lewat email, Pak Angga dan teman-temannya biasanya pesan bahan makanan kepada PBB.
“Tapi rasanya tentu tak seenak jika menyantap makanan di Indonesia.” seloroh Pak Angga, “Soalnya di Sudan rempah-rempahan dan bumbunya terbatas..”. Misalnya saja nih, ketika sang koki masak opor. Kuahnya terasa hambar, tetapi itu mau tidak mau tetap disebut opor. Hihihii..
Selama dua tahun mengabdi di Sudan, hal yang paling berat menurut Pak Angga kangen keluarga. Beruntung di sana, PBB sudah menyiapkan internet cepat dari satelit. Sehingga beliau masih bisa tetap bervideo-call ria dengan anak istri di Indonesia.
Lantas bagaimana dengan pasokan air untuk kebutuhan sehari-hari? Pak Angga menerangkan kalau di Sudan cuacanya sangat panas.
Wilayahnya kebanyakan berupa padang pasir, sehingga PBB menggali tanah sangat dalam untuk bisa mendapatkan air. Jadi pasukan perdamaian dan para perwakilan PBB tidak kekurangan air.
Pengalaman Lucu dan Berkesan Jadi Pasukan Perdamaian
Lumayan banyak pengalaman lucu dan berkesan yang diceritakan oleh Pak Angga. Terutama menyangkut kehidupan sesama polisi yang bertugas di sana. Salah satunya mengenai sikap hormat dan baris-berbaris sewaktu upacara.
Ternyata masing-masing negara, caranya berbeda-beda. Pun simbol pangkat dan warna seragam yang dikenakan. Tentunya melihatnya justru menjadi hal yang lucu dan bikin geli. “Meskipun demikian tetap harus saling menghormati dan jangan rasis,” kata Pak Angga.
Polisi dan tentara yang rasis di sana, tentu saja memalukan negara. Hukumannya mereka akan dideportasi dan tidak diperbolehkan mengikuti program PBB kembali. Pulang ke negaranya juga akan terkena hukuman. Untuk itu, masing-masing orang harus menjaga wibawa diri dan negaranya. 🙁
Terkait ilmu kepolisian, setiap negara pada umumnya sama. Mereka juga memiliki pangkat yang lebih kurang mirip-mirip. Ada yang jadi komandan, kombes, akbp, perwira dan bintara. Tentu saja penyebutannya disesuaikan dengan bahasa masing-masing negara.
Di Pakistan, polisi dan tentaranya memiliki kumis yang panjang dan tebal. Sebenarnya ada alasan tersendiri mengapa kebanyakan berperawakan demikian. Ketika ditanya oleh Pak Angga, tahu gak sih apa jawabannya?
Kalo di India, ada tunjangan kumis. Lain lagi di Pakistan. Dikarenakan di sana mayoritas muslim, maka di Pakistan ada tunjangan jenggot. Barangsiapa yang memelihara jenggot, maka mereka akan diberi tunjangan. Hahaha… ada-ada saja, ya.
Kebiasaan tentara dan polisi di tiap-tiap negara juga berbeda-beda. Di India sana, jika mereka mau bilang ya, maka kepalanya akan menggeleng-geleng.
Sebaliknya jika bilang tidak, mereka justru mengangguk-angguk. Pada awalnya ini membingungkan bagi polisi Indonesia, tetapi lama-lama akhirnya terbiasa. 🙂
“Lantas keinginan apa lagi, nih Pak, yang ingin diwujudkan?” tanya Molzania. “Ingin kuliah S3 tentang ilmu komunikasi dan politik di luar negeri, ” tutup Pak Angga. Wah, semoga terkabul ya, Pak, cita-citanya.. Aamiin yaa rabbal alamin..
Keren ya oengalamannya sangat menginspirslasi