Melihat fenomena meningkatnya angka positif Covid di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir membuat Molzania merasa miris.
Sampai dengan tulisan ini dibuat, angka Covid di negeri ini sudah mencapai 50 ribu lebih dengan penambahan lebih dari seribu kasus per hari.
Mortalitas atau angka kematian akibat penyakit ini juga tergolong tinggi. Mencapai angka 5,1 persen dengan tingkat kesembuhan 44,3 persen.
Dengan kondisi seperti ini, pemerintah sudah mulai mewacanakan new normal pada banyak daerah di Indonesia yang dianggap sudah berada pada kondisi rendah penularan Covid alias green zone.
New normal ialah sebuah tatanan kehidupan baru dimana kita diwajibkan untuk menerapkan segenap protokol kesehatan saat beraktivitas di luar rumah.
Meliputi penggunaan masker , jaga jarak aman, sering mencuci tangan, menghindari kerumunan, serta berbagai aturan lain yang mensyaratkan kita agar menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Sayangnya banyak masyarakat yang menganggap ini berarti kembali bebas. Kembali ke kebiasaan sebelumnya dimana mereka bebas melakukan apa saja tanpa diwajibkan dengan berbagai aturan yang jelimet.
Akibatnya edukasi yang telah dibuat jadi terabaikan kembali seiring dengan kembali dibukanya tempat wisata dan tempat hiburan di Indonesia.
Palembang (Lagi) Zona Merah Covid
Beberapa hari yang lalu, kota Palembang kembali ditetapkan sebagai zona merah penyebaran Covid oleh pemerintah.
Padahal sejak dilakukannya psbb hingga berakhirnya pertengahan Juni lalu, Kota Palembang berhasil turun status menjadi zona oranye.
Zona oranye berarti wilayah dengan klaster penyebaran corona yang relatif kecil.
Zona merah di Kota Palembang dapat diartikan pula terjadi peningkatan kasus jumlah orang-orang yang positif Covid per harinya.
Bahkan prestasi kota pempek tak hanya sampai di situ saja. Kota Palembang menjadi satu-satunya zona merah di wilayah Sumatera Selatan.
Sementara itu di wilayah lain di Sumatera Selatan, rata-rata telah berada di zona kuning. Bahkan ada beberapa wilayah yang sudah ada di zona hijau.
Hal ini berarti tugas paramedis di kota ini memberat (lagi). Menurut laman Bisnis, ada lebih dari 70 persen sampel covid yang diperiksa milik orang tanpa gejala (OTG).
Jumlah itu tentu baru sebatas yang telah diperiksa saja. Dikhawatirkan di luar sana, ada banyak OTG-OTG lain yang tidak terdeteksi sehingga penyebaran Covid di Sumsel menjadi cepat dan tidak terlacak.
Stigmatisasi Rumah Sakit dan Rapid Test
Di musim pandemi saat ini, rumah sakit menjadi salah satu klaster penyebaran Corona di Indonesia. Sudah berapa banyak petugas medis dan tenaga kesehatan yang tumbang karena terinfeksi Covid.
Molzania pernah baca kita disarankan untuk tidak usah pergi ke rumah sakit jika penyakitnya masih tergolong ringan dan dapat disembuhkan sendiri di rumah.
Alasannya saat ini rumah sakit diprioritaskan untuk menangani pasien Covid dan pasien dengan penyakit kronis lainnya.
Molzania membaca bahkan beberapa pasien terpaksa menunda jadwal operasi mereka ke rumah sakit karena dampak pandemi.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Akibatnya rumah sakit dianggap sebagai momok yang menakutkan. Orang-orang banyak yang enggan berkunjung ke rumah sakit.
Molzania dan keluarga juga mengalami perasaan yang sama. Takut pergi ke rumah sakit karena takut kena Corona.
Akibatnya sudah sejak Maret lalu, Molzania dan mama tidak lagi berobat ke RS.
Padahal sebelumnya setiap bulan kami rutin ke RS untuk berobat bulanan. Molzania lebih memilih membeli obat sendiri di apotik.
Mungkin di luar sana ada banyak pasien yang seharusnya dirawat, menjadi tidak tertolong karena keluarganya enggan membawanya ke RS.
Alasannya bisa jadi karena kasihan dengan pasien, ataupun ketakutan yang berlebihan terhadap RS dan corona. Sangat disayangkan jika hal tersebut terjadi.
Lain rumah sakit, lain pula rapid test. Orang baru akan mau menjalani rapid test jika mereka sudah merasa sakit yang tak kunjung sembuh dengan gejala corona. Tentunya setelah mereka berkonsultasi ke dokter.
Atau ketika mereka terpaksa melakukannya. Misalnya karena kewajiban terkait pekerjaan, atau karena harus berpergian ke luar kota.
Bahkan Molzania sendiri juga merasakan ketakutan ketika memikirkan soal rapid test. Ya iyalah, ketika hasilnya nanti positif maka harus siap menanggung semua risiko.
Sebagai manusia yang dikenal sebagai makhluk sosial, gagasan karantina mandiri meski di rumah saja selama lebih kurang dua minggu bukanlah gagasan yang menarik.
Karantina mandiri berarti harus siap untuk tinggal di rumah selama berhari-hari. Berinteraksi secara minimal dengan orang lain.
Belum lagi persoalan biaya test Corona yang mencapai minimal ratusan ribu hingga jutaan sekali tes jika lewat jalur mandiri.
Sebagai info, biaya rapid test di rumah sakit kota Palembang minimal 250 ribu. Jika hasilnya reaktif, maka wajib mengikuti tes selanjutnya yaitu tes swab.
Untuk tes swab, sekali tes biayanya minimal satu juta rupiah. Jumlah yang tergolong fantastis untuk kebanyakan orang bukan?
Diskriminasi Terhadap Pasien Positif Corona
Sejak mulai mewabahnya virus Corona, muncul anggapan dari masyarakat Indonesia bahwa virus ini merupakan bagian dari konspirasi.
Akibatnya ada sebagian yang masih tidak percaya dan justru mengabaikan anjuran penerapan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh WHO dan pemerintah.
Di Kota Palembang pun Molzania masih banyak menemukan orang dengan pemikiran seperti ini. Mereka tidak memercayai statistik angka-angka jutaan orang terpapar virus yang bernama lengkap Novel Coronavirus ini.
Sebagian lainnya masih cenderung cuek terhadap penggunaan masker di tempat umum. Seringkali Molzania melihat di jalan raya, masih banyak masyarakat kota Palembang yang tidak menggunakan masker.
Entah apapun alasan mereka, jelas apa yang sudah mereka lakukan tersebut akan memperburuk penyebaran Covid.
Sebenarnya saat diterapkannya PSBB kemarin, dengan segala kebijakan denda, hukuman, hingga menakut-nakuti yang ada padanya, sudah cukup efektif menurunkan tingkat penyebaran Covid di kota ini.
Terbukti dengan diturunkannya status zona merah menjadi zona oranye. Akan tetapi setelahnya justru masyarakat kembali abai. Angka covid pun naik lagi. Status kota kembali berwarna merah lagi.
Mengenai diskriminasi terhadap pasien Covid, sepertinya sudah tidak seseram dulu dimana terjadi pengusiran dan penolakan terhadap nakes dan dokter yang merawat pasien Corona.
Akan tetapi ketakutan masyarakat terhadap pasien Corona juga tak dapat terhindarkan. Ini termasuk hal yang wajar sih sebenarnya.
Bagaimanapun penyakit Covid dianggap sebagai penyakit ‘out of horror movies’ (keluar dari film horor) karena ketiadaan vaksin dan karakteristiknya yang mampu menginfeksi seseorang tanpa gejala.
Jujur, Molzania takut. Lebih tepatnya takut tertular. Sekalinya tertular dan dinyatakan positif, orang-orang di sekitar juga bisa mengalami hal yang sama.
Mereka juga diwajibkan untuk menjalani tes Corona dan melakukan isolasi mandiri. Padahal mungkin sebenarnya mereka sendiri juga merasa takut dan banyak yang enggan menjalani tes.
Hanya orang-orang yang bermental kuat, mereka sadar diri untuk ikut tes. Banyak diantara mungkin menolak karena takut dan merasa sehat-sehat saja. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Stop Diskriminasi, Namun Tetap Waspada
Menurut Annisa Rizkiayu, seorang dosen psikologi, dalam publikasinya di laman Kompas, ada 4 faktor penyebab stigmatisasi terhadap pasien dengan penyakit tertentu, diantaranya:
1. Tingkat kontrol terhadap kesembuhan rendah atas penyakitnya.
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan pengobatan yang mampu menghindari risiko tertularnys Corona.
2. Ketidakpastian lamanya kesembuhan
Masa isolasi mandiri Corona berlangsung selama 14 hari. Namun masih terdapat risiko tertular kembali.
3. Faktor yang tidak terduga dari suatu penyakit
Corona mampu menyebar melalui udara dan cairan tubuh.
4. Kurangnya edukasi dan informasi kepada masyarakat
Tersebarnya informasi hoax dan kabar bohong di masyarakat mengenai korona menimbulkan keresehan di masyarakat.
Sebuah tulisan yang dipublikasikan oleh Lukman Hakim pada laman Detik, dalam melawan stigma yang beredar di masyarakat diperlukan komunikasi.
Kita bisa melakukannya lewat diskusi di ruang publik. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan manusiawi diharapkan masyarakat bisa teredukasi dengan baik dan stigmatisasi sepihak itu bisa dikurangi.
Lewat tulisan ini, Molzania ingin mengajak sobat untuk mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap Covid. Namun hal itu tidak serta merta mengurangi kewaspadaan kita selama berada di tempat umum.
Kita tetap mematuhi dan menjalankan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. New normal bukan berarti bebas dari covid.
Jangan takut untuk berobat ke rumah sakit bila memang tidak tertangani di rumah. Semakin cepat dirawat, harapannya pasien akan bisa segera sembuh.
Virus corona tidak akan bisa dihilangkan ataupun dikendalikan. Soalnya virus itu kecil dan tidak terlihat.
Kita manusialah yang bisa menjaga diri dari terpapar Corona. Bila memang tidak benar-benar diperlukan, hindari beraktivitas di luar rumah.
Kepada mereka yang sudah terlanjur melakukan kontak dengan pasien Corona, hendaknya tidak takut untuk melakukan tes. Demi kebaikan bersama.
Dari segi agama pun ini nggak salah loh, agama menganjurkan kita untuk hidup bersih dan sehat. Jika sedang ada wabah di kota kita, hendaknya kita berdiam diri di rumah.
Bagi daerahnya yang masih berada di zona merah, sebaiknya tunda dulu semua kerjaan di luar rumah.
Dunia sedang dilanda pandemi. Hendaknya kita berkerjasama demi masa depan yang lebih baik.
Sumber:
https://sumatra.bisnis.com/read/20200504/533/1235893/zona-merah-tambah-70-persen-kasus-covid-19-di-sumsel-tanpa-gejala
https://kabar24.bisnis.com/read/20200528/15/1245770/28-juta-jadwal-operasi-terancam-batal-akibat-pandemi-covid-19
https://tribunsumselwiki.tribunnews.com/2020/06/15/ini-daftar-rumah-sakit-dan-klinik-di-palembang-yang-melayani-rapid-test-dan-swab-test-secara-mandiri
https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/13/164454765/salah-kaprah-stigmatisasi-dan-diskriminasi-terhadap-pasien-covid-19?page=all
https://news.detik.com/kolom/d-4979149/meredam-stigma-corona
Aku termasuk orang yang waspada tapi nggak panik berlebihan. Sudah mulai beraktifitas normal tanpa melupakan protokol kesehatan
good job mbak nunung 🙂
Semarang juga zona merah nih. Masih banyak aja orang yang abai terhadap ketentuan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal ya kalau mau aja sedikit peduli, dengan mengikuti protokol kesehatan akan makin rendah tingkat paparan virus Covid-19 ini.
bnyk bgt daerah yg jadi zona merah huhuu
Baca tulisan kak Molzania jadi inhale-exhale.
Karena berat sekali di zaman pandemi begini…di saat semua roda kehidupan harus tetap bergerak seolah tidak ada apa-apa.
Semoga semuanya dilindungi Allah.
Yang didengungkan “new normal” tapi di lapisan masyarakat bawah2 dengernya “normal” jd perilakunya udah normal dan yang masih pakai masker dll dipandang aneh huhuhu.
Wah di sana juga merah ya mbak? Iya nih, kyknya ada miskom di mana yg di atas kurang bisa edukasi masyarakay ttg penyakit ini, jd seringnya org ketakutan.
Bingung jg, ngarepnya ada suatu gebrakan yg lbh serius lg gtu 🙁
iyaa nih. nunggu gebrakan dari pemerintah utk menyadarkan masy yg masih abai.