1,291 Views
Hanya dalam tempo waktu sepuluh hari, kawasan rawan bencana diperluas dari hanya 10 km kemudian berubah 15 km hingga akhirnya kini mencapai dua kali lipat yaitu 20 km. Semburan awan panas yang disertai oleh ancaman bahaya lahar dingin kini menghantui segenap warga Yogyakarta dan sekitarnya. Belum lagi hujan abu pekat yang kini memayungi seluruh kota pelajar itu bahkan hingga merambah daerah ibukota Jakarta.
Sungguh ironis memang. Berbagai bencana-bencana dahsyat yang sedang melanda negeri kita akhir-akhir ini diluar dugaan. Ratusan nyawa melayang dihantam Tsunami di Mentawai. Puluhan korban jiwa meninggal dunia terkapar terkena sapuan awan nan panas yang keluar dari bibir Merapi. Belum lagi korban-korban yang terluka maupun sakit akibat terkena debu. Mereka sakit baik psikis maupun fisik. 
Warga yang tinggal diluar Yogya pun tak luput dari bencana yang sama yang mungkin segera akan datang. Lebih dari 20 gunung-gunung berapi di Indonesia kompak mengeluarkan sinyal “Waspada”. Gunung-gunung berapi itu pun menyebar di hampir seluruh negara Indonesia. Baik di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan bahkan jangan-jangan Papua. 
Indonesia memang telah terbiasa menghadapi berbagai bencana yang disebabkan oleh alam. Pada zaman nenek moyang kita pun terjadi bencana yang serupa. Bahkan lebih dahsyat. Sebut saja kejadian bencana gunung Krakatau yang tidak hanya menyemburkan awan panas, lava pijar, maupun hujan abu pekat melainkan juga Tsunami maha dahsyat yang menewaskan hampir 35 ribu jiwa. Bahkan suara letusannya saja terdengar hingga benua Eropa dan Amerika yang berjarak ribuan kilometer. Tak hanya itu, letusan dahsyat gunung Merapi pun sudah terjadi beberapa kali. Tepatnya pada tahun 1000 Masehi hingga meluluhlantakkan kerajaan Mataram kala itu.
Ingat Merapi yang tak kunjung sembuh itu, gue jadi teringat dengan tragedi Lumpur Lapindo yang masih mengeluarkan Lumpur panas hingga saat ini. Akankah hal tersebut juga terjadi pada Merapi yang notabenenya masih terus dinyatakan “awas” dan bahkan meluas daerah rawannya??? Semoga saja tidak. Lumpur Lapindo tentu berbeda dengan Merapi. Namun bukan tidak mungkin hal itu akan terjadi juga. Waspada apa salahnya. Dan semoga saja tidak terjadi. Aminnn.
Letusan dahsyat yang terjadi jumat dini hari kemarin kembali memakan korban. Puluhan orang kembali harus meregang nyawa dan puluhan lainnya harus menahan perih akibat luka bakar awan panas lebih dari 50%. Kebanyakan dari para korban adalah para warga yang “nekat” kembali ke rumah mereka. Alasannya bolehlah diterima: mengurus dan memberi makan hewan ternak mereka yang tak terurus setelah ditinggal mengungsi. Dan pemerintah TELAT memberikan solusi. Pak Presiden baru berpidato memberikan solusi “membeli semua hewan ternak dengan harga pantas” setelah timbul korban. Setelah bencana telah terjadi. Setelah semuanya telah terlambat bagi para korban yang tewas dan terluka. Meski juga belum terlambat bagi para pengungsi yang selamat.
Apa yang telah dijanjikan oleh pemerintah seharusnyalah sedikit membahagiakan para warga yang terkena dampak Merapi. Para pengungsi jadi sedikit tidak perlu khawatir mengenai kehidupan mereka setelah bencana usai. Namun masalahnya ada pemBUKTIan  dari janji-janji dan ocehan pemerintah itu. Karena seringkali pemerintah ingkar janji atau tak sesuai dengan janji. Membeli hewan ternak dengan harga tak pantas atau jauh lebih murah. Baiknya lagi pemerintah melebihkan sedikit uang pantas itu untuk warga pindah dan membeli rumah baru. Kita liat saja nanti janji-janji pemerintah. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
 Disisi lain, rupanya masih saja ada warga Merapi yang memilih bertahan di tempat tinggal mereka. Tepatnya warga desa Gebyok yang berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi. Jumlahnya kurang lebih 100 orang. Alasannya (nah ini dia yang mungkin membuat merapi semakin marah) yaitu menunggu bisikan gaib dari penguasa gunung. Jelas ini perbuatan sirik dan menyekutukan Allah (pencipta gunung Merapi) walaupun sebagian besar penduduk tersebut beragama Islam.
Memang tak bisa disalahkan juga. Banyak warga sekitar gunung Merapi yang masih menjalani ritual nenek moyang mereka. Banyak yang masih percaya pada “roh gaib penunggu gunung” atau yang lebih dikenal dengan kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Percaya kepada orang yang berprofesi sebagai “sepuh desa” yang merupakan perantara setan penguasa gunung. Termasuk juga Mbah Maridjan (alm) yang sering menggelar ritual malam Jumat dengan cara berkeliling desa. Maksudnya sih mungkin baik yaitu memelihara keamanan, namun masalahnya adalah keberadaan sesajen2 buat makan para setan (enak banget tuh setan2 dikasih makan gratis wkwkwkwk). Tunggu dan lihat saja tanggal mainnya, hai warga yang masih “mbalelo”…. 
Tanggal 9 November 2010 tar presiden AS Barrack Obama rencananya bakalan dateng mengunjungi Indonesia. Berita bagus tuhh.. Meskipun kedatangan beliau selalu diikuti berbagai kontroversi. Tapi mudah-mudahan aja beliau bisa ikutan ngejenguk pengungsi Merapi. Jauh-jauh dateng dari Amerika harus donk ngeluangin waktu buat nengok pengungsi bencana yang ada di Indonesia.
Kesimpulannya yah masing-masing introspeksilah, saling ngebantu. Antara warga dan pemerintah. Mengungsi dengan kerelaan hati agar dapat meneruskan hidup. Pemerintah dibantu oleh warga negara Indonesia turut memberikan sumbangan dan bantuan untuk para pengungsi maupun korban luka-luka. Baik itu sembako, pakaian, obat-obatan, dan keperluan lain yang dibutuhkan. Bagi yang belum sempat atau tak bisa ikutan nyumbang karna tak ada waktu atau hal-hal lain, yah ngeberi sumbangan pikiran lewat blog misalnya. Seperti gue donkkk …. :p
Baca Juga:  Kisah Dua Beranak dan Seekor Keledai

Pin It on Pinterest

Share This