Ketika masih kanak-kanak, Molzania selalu memimpikan pernikahan bak Cinderella. Menikahi pangeran tampan, pakai baju yang bagus, tinggal di istana dan berbahagia selamanya. Makin dewasa, Molzania paham kalau pernikahan itu sesuatu yang kompleks.
Kehidupan pernikahan dimulai justru setelah kita menikah. Terkadang jika menemui kendala, pernikahan bisa saja berakhir dengan perceraian. Kita tak pernah tahu akhir hidup kisah Cinderella. Apalagi bila si Cinderella ternyata berstatus disabilitas.
Apakah dia menua bersama pangeran atau malah diselingkuhi pangeran?
Menjawab Pertanyaan KApan MEnikah
Seorang teman perempuan sesama disabilitas, pernah memperingatkan. Bahwa kita harus pandai dan jeli memilih pasangan. Jangan terburu-buru menikah. Usut cerita, ternyata teman Molzania ini pernah menikah selama satu tahun. Lalu berakhir dengan perceraian.
“Suamiku ringan tangan, ” jawabnya kalem ketika Molzania menanyakan alasannya. Air mukanya tampak tenang. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya.
“Kami menikah terlalu cepat, karena umurku sudah menginjak 30-an tahun waktu itu,” terangnya lagi. Kalimatnya sederhana, tapi bagaikan petir yang membuka kotak pandora yang sudah lama tertutup.
Percakapan kecil itu mengingatkan Molzania pada pengalaman sedih kerabat yang pernah bercerai. Ya, selama ini yang Molzania tahu kalau perceraian itu selalu berawal dengan kesedihan.
Di Indonesia, seorang wanita sering kali dituntut oleh orang-orang sekitarnya untuk cepat menikah. Alasannya karena wanita memiliki masa subur untuk dapat melahirkan seorang anak. Umumnya di usia 21 – 35 tahun.
Lebih dari itu, dipercaya makin sulit bagi wanita untuk mendapatkan buah hati. Makanya seorang wanita diharuskan menikah pada rentang usia produktif tersebut. Lebih dari itu, dianggap sebagai perawan tua.
Anggapan tersebut juga menghantui wanita disabilitas. Pertanyaan kapan nikah sering membuat risih. Tetapi tampaknya bagi wanita disabilitas daksa berkursi roda sepertiku lebih slowly.
Hampir dibilang, hanya segelintir yang bertanya langsung kepada Molzania tentang kapan menikah. Entah itu beneran atau sekedar basa-basi. Yang jelas, sepertinya orang-orang memaklumi wanita disabilitas.
Arti Pernikahan bagi Wanita Disabilitas
Baru-baru ini, beredar trending Tiktok yang dinamakan “Aku Bisa, Yura!”. Netizen Indonesia kompak membuat video trending yang diiringi lagu Aku Bisa dari Yura Yunita. Lagu viral Yura awalnya mengundang netizen untuk curhat mengenai keberhasilan pernikahan mereka.
Banyak diantaranya yang curhat dapat jodoh impian. Terlintas di dalam benak, bilakah jodoh ini datang? Sama seperti yang lainnya, disabilitas pun ingin menikah.
Ada keinginan dalam hati Molzania untuk menikah. Dalam agama, pernikahan itu sesuatu yang bernilai ibadah. Allah swt menganjurkan umatNya untuk menikah.
Dalam Alqur’an, Allah menjelaskan tujuan seseorang menikah di samping untuk mendapatkan keturunan, tetapi juga untuk ketentraman hati. Pernikahan dapat juga menjadi tameng untuk menjauhi zina.
Membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah dibutuhkan komitmen. Yang mana ini hanya bisa dibangun melalui pernikahan. Untuk itu, pernikahan membutuhkan banyak hal biar langgeng. Selain tentunya rasa cinta diantara wanita dan pria.
Molzania sempat bertanya kepada rekan-rekan sesama disabilitas yang belum menikah. Rata-rata mereka semua ingin menikah. Banyak diantaranya yang sudah berusia lansia, tetap berkeinginan untuk menikah.
Masalahnya Menikah Tidak Sesederhana Itu
Menikah itu butuh komitmen sepasang manusia yang berlawanan jenis. Pria dan wanita. Mereka berkomitmen untuk tinggal bersama hingga akhir hayat. Tak hanya itu, pasangan itu juga dibebankan tanggungjawab, yang mana pertanggungjawabannya langsung kepada Allah swt.
Jika nantinya pasangan tersebut dikaruniai keturunan, maka tanggungjawabnya akan lebih besar lagi. Mereka diwajibkan untuk membesarkan, merawat, dan mendidik manusia baru agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
Untuk itu, pernikahan butuh kesiapan yang matang. Tidak hanya persoalan finansial, tetapi juga mental masing-masing. Menikah bukan persoalan nafsu semata. Melainkan menuntut kedewasaan berpikir dan kemandirian.
Hal inilah yang terkadang menjadi kelemahan bagi seorang disabilitas. Banyak disabilitas yang belum bisa mandiri. Masih tergantung dengan caregiver.
Dikarenakan keterbatasan yang dia miliki, menjadikannya kurang atau bahkan tidak bisa sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai pasangan dalam rumah tangga.
Belum lagi dari segi fisik. Seorang disabilitas dianggap tidak memiliki penampilan menarik. Tak dapat dipungkiri, berbagai stigma negatif terhadap disabilitas bisa berpengaruh pada menurunnya angka pernikahan.
Saat Molzania SMP, ada beberapa orang teman yang mengatakan bahwa Molzania tidak akan bisa menikah. Soalnya Molzania penyandang disabilitas. Jenis disabilitas Molzania adalah daksa cerebral palsy.
Sehari-hari beraktivitas dengan kursi roda. Belum lagi harus menghadapi kekakuan otot kaki dan tangan akibat gangguan cerebral palsy. Makanya saat ini memilih untuk berkerja dari rumah sebagai blogger dan konten kreator.
Fakta Pernikahan Disabilitas
Sosiolog Philip Cohen dari Universitas Maryland pernah melakukan penelitian tentang disabilitas yang melakukan pernikahan. Penelitian tersebut menyatakan bahwa disabilitas yang mau menikah hanya separuh dari yang non disabilitas.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 2016 dipublikasikan di New York Times. Hasilnya ada 24.4 dari 1000 orang disabilitas yang menyetujui pernikahan. Berbanding 48.8 per 1000 orang non disabilitas.
Pada pernikahan pertama kali, seorang disabilitas mungkin akan mengalami kekerasan fisik dan psikis yang lebih besar. Sayangnya sedikit sekali yang melaporkannya pada pihak berwajib.
Sebuah survei di India menyebutkan bahwa 61 persen responden menyatakan bahwa tak masalah memiliki pasangan yang disabilitas. Lantas, bagaimana dengan di Indonesia?
Sayangnya di Indonesia, belum ada bahasan dan penelitian tentang hal tersebut. Artikel mengenai pernikahan di kalangan disabilitas kebanyakan hanya membahas dari aspek hukum dan agama.
Mungkin sobat ada yang pernah baca? Kasih komentar ya di bawah.
BERKACA PADA Serba-Serbi KEHIDUPAN DISABILITAS
Di kalangan teman-teman disabilitas Molzania, terpecah menjadi dua. Sebagian menikah, sebagian lagi belum menikah. Mereka yang menikah, terbagi lagi menjadi dua. Ada yang menikah dengan non disabilitas, ada lagi yang menikah dengan sesama disabilitas.
Mereka yang menikahi sesama disabilitas memiliki kepribadian yang tangguh. Molzania mengenal pasangan disabilitas daksa. Mereka memiliki seorang anak perempuan disabilitas yang masih berusia SD.
Saling bahu-membahu, mereka mendirikan usaha kriya di teras rumahnya. Sang suami juga memiliki usaha desain grafis. Sementara istrinya membuka katering masak sendiri di rumahnya.
Ada lagi, teman Molzania pasangan suami istri disabilitas netra. Mereka tidak memiliki anak. Sang suami dulunya akuntan lulusan universitas negeri ternama di Indonesia. Sekarang ia dan istrinya membuka usaha pijat di rumah.
Lain halnya dengan teman Molzania yang satu lagi. Dia berhasil melahirkan empat orang anak, meskipun badannya hanya setengah. Sejak lahir, tubuhnya hanya sampai panggul. TIdak punya kaki yang utuh. Saat ini, suaminya berprofesi sebagai supir ojol. Luar biasa bukan?
Di sisi lain, teman disabilitas Molzania juga ada yang sudah berusia lansia. Dia belum menikah, sementara saudaranya yang sesama disabilitas sudah menikah. Teman Molzania itu sekarang hidup mandiri. Dia membuka usaha menjahit di rumah orang †uanya.
Banyak teman menasihati dan menghibur Molzania perkara jodoh. “Kalau sudah ketemu yang cocok, nanti bakal nikah kok.” kata mereka. Molzania percaya kelahiran, pernikahan, dan kematian rahasia Allah swt.
Tetap Optimis Berjodoh, Tapi Tak Ingin Jadi Beban Pikiran
Seorang teman mengeluh pada Molzania perihal jodoh. Di usia yang makin beranjak, belum juga diberikan jodoh oleh Allah. Dirinya merasa galau dan gundah. Mengingat orang-orang sekitar menuntutnya untuk segera menikah.
Sejujurnya keresahan teman ini akan jodoh, membuat Molzania belajar banyak. Bahwa kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan. Entah mengapa, Molzania pribadi tidak ingin pusing soal jodoh.
Molzania memilih ke arah berserah padaNya. Biarlah Allah swt yang tahu yang terbaik untuk Molzania. Menikah atau tidak, yang paling penting adalah kebahagiaan diri sendiri.
Seorang wanita mestinya tetap optimis untuk berjodoh dan menikahi seseorang yang tepat. Berharap mendapatkan yang terbaik. Sama halnya dengan wanita disabilitas. Molzania pun juga berharap demikian.
Pernikahan bukanlah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Bagi Molzania sendiri, terus menulis dan belajar banyak hal baru adalah kebahagiaan.
Maka dari itu, daripada menggalau, Molzania lebih baik melakukan hal bermanfaat lainnya. Jangan memikirkan hal-hal di luar kendali kita. Mending kita berfokus pada apa yang bisa kita lakukan.
Sumber Artikel :
https://www[.]nytimes.com/2016/12/08/well/family/dating-with-a-disability[.]html
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4101721/survei-mayoritas-individu-tak-masalah-punya-pasangan-disabilitas
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3740583
Bahagia dan bisa lebih menikmati hidup dulu aja ka moly. Insya Allah akan datang pangerannya diwaktu yang tepat
Semangat kak Moly, lebih baik ditertawakan karena belum menikah daripada kita tidak bisa tertawa setelah menikah yess….
daripada menyesal belakangan hehe