“Di pedalaman Papua ini, saya pernah mengajar seorang murid disabilitas. Dia seorang disabilitas rungu, tapi semangat belajarnya tinggi. Tentu sulit mengajari anak tersebut, di tengah segala keterbatasan yang ada. Tapi suatu hari, saya tengah berjalan-jalan di kampung. Bertemulah dengan anak tersebut. Nah dia menulis namanya sendiri di tanah. Disitulah saya menangis terharu. ” ungkap Diana Cristiana Da Costa Ati.
Mbak Diana, bukanlah cikgu biasa. Usianya baru saja menginjak 20 tahun, saat bergabung menjadi relawan Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT). Saat itu tahun 2018, dia ditugaskan menjadi guru honorer di SDN Kaibusene, sebuah sekolah yang berlokasi di pelosok Papua Selatan. Pertama kali menginjakkan kaki di sana, dia justru menangis kencang. Air matanya tak berhenti mengalir. Ada apakah gerangan?
Ternyata kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Bangku dan meja sudah reyot. Tidak ada papan tulis. Anak-anak bersekolah tanpa seragam, peralatan menulis dan buku pelajaran. Jangankan membaca, bahkan mereka tak satu pun hapal Indonesia Raya. Apalagi Pancasila. Hanya ada tiga kelas yang dipakai mengajar dari kelas 1 – 6 SD. Guru pun hanya ada dua orang. Jika tak ada guru, sekolah diliburkan tanpa batas waktu. “Bagaimana bisa belajar dengan baik?” tanya Cikgu Diana dalam hati.
Tiga bulan belajar-mengajar berlangsung di bawah asuhan Mbak Diana. Anak-anak SDN Kaibusene mulai melek huruf. Satu per satu mereka lancar bernyanyi Indonesia Raya dan melafalkan Pancasila di luar kepala. Malahan, anak didiknya sudah mampu menghapal beberapa kosakata Bahasa Inggris. Kini generasi masa depan Papua itu bisa berdoa dalam Bahasa Inggris sebelum makan. Di desa terpencil itu pula, Diana mendirikan perpustakaan yang memuat lebih dari 500 buku. Luar biasa, bukan?
Anak-Anak Papua, Seharusnya Kaya Raya
Papua segalanya ada. Sumber daya alamnya tumpah ruah. Di pulau ini, berdiri perusahaan tambang emas terbesar. Tapi faktanya menimba ilmu masih pekerjaan yang sulit. Di pelosok bumi cenderawasih itu, anak-anak mesti berjalan berkilo-kilo untuk sekolah. Setelah mengajar lebih kurang dua tahun di SDN Kaibusene, Mbak Diana pun pindah tugas ke sekolah berbeda. Tapi masih satu wilayah Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Pindahnya ke SDN Kampung Atti. Namun, gadis manis berlesung pipit itu menemukan kenyataan yang tak berbeda jauh.
Untuk masuk ke Kampung Atti ini hanya bisa ditempuh via jalur darat dari Kota Keppi, ibukota Kabupaten Mappi. Kalau hujan bisa saja memakan waktu sampai dua hari. Letak antar kampung di pedalaman Papua ini memanglah saling berjauhan. Sebagian besar wilayahnya berupa rawa-rawa dan perairan. Kampung Atti dihuni oleh 200 kepala keluarga yang rata-rata berkerja sebagai pencari gaharu di hutan. Di sini, masih belum ada listrik. Warga Kampung Atti mengandalkan tenaga surya.
SDN Kampung Atti satu-satunya sekolah dasar yang ada di desa ini. Per tahun 2024 ini, menurut data Dapodik, ada sekitar 77 siswa yang tengah menempuh pendidikan di sekolah ini. Kalau sekolah diliburkan, anak-anak ikut orang tuanya pergi ke hutan. Suasana patriarki masih sangat kental di desa. Menurut Mbak Diana, siswa perempuan lebih sering tidak masuk sekolah, ketimbang siswa laki-laki. Soalnya mereka diwajibkan untuk memangkur sagu untuk keperluan makan dam minum keluarga.
Meskipun demikian, Bu Diana mengakui semangat belajar anak didiknya sangatlah tinggi. Mimpi mereka besar-besar. Terbukti di tengah keterbatasan yang ada, mereka masih ingin bersekolah. Beberapa anak ada yang tinggal jauh di dalam hutan. Mereka rela berjalan kaki satu jam untuk pergi ke sekolah. Kenyataan ini sungguh sangat miris. Berbanding terbalik dengan sumber daya Papua yang kaya raya itu. “Ibu, Sa sudah capek hidup yang seperti ini. Sa juga mau naik pesawat seperti bapak-bapak di Jakarta. Mereka tidur di atas kasur, sementara Sa tidur di para-para (gazebo beralaskan bambu). Sa mau jadi orang hebat, ” keluh salah seorang murid. Sa itu Bahasa Papua yang artinya saya.
Tahun 2019, Ibu Guru Diana pernah menulis surat terbuka untuk Mendikbud saat itu, Pak Nadiem Makarim. Lewat suratnya, Dia menyampaikan kutipan dari Pak Surya Paloh dalam sebuah acara “Pertaruhan Sang Ideolog”. Di situ, Pak Surya Paloh lantang berkata bahwa dia ingin suatu hari ada presiden Indonesia asal Papua yang berambut keriting dan berkulit hitam. Anak-anak Papua menjadi matahari yang terbit dari ufuk timur. Bu Diana mengamini keinginan Pak Surya Paloh tersebut. Dia senantiasa mendoakan agar siswa-siswinya berhasil meraih mimpi-mimpinya.
Jadi Guru Inklusi yang Tulus Hati
Menjadi guru sebenarnya bukanlah cita-cita semasa kecil. Dulunya Ibu Guru Diana ingin jadi polisi wanita. Namun, panggilan hati membuatnya beralih profesi. Karena keinginan menumbuhkan semangat nasionalisme pada anak Indonesia, Diana pun memilih untuk menempuh pendidikan guru PPKN di Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT. Terlahir di Timor Timur, Diana kecil dulu mengikut ibunya menjadi WNI. Sementara sang ayah memilih kewarganegaraan negara Timor Leste.
Kondisi siswa dan siswi di pelosok Papua ini, tentu berbeda dibandingkan di kota-kota besar. Sebagian besar siswa-siswinya belum tersentuh teknologi modern. Padahal materi jenjang SD zaman sekarang, banyak memuat contoh-contoh pembelajaran tentang hal tersebut. Misalnya saja kereta api, atau hewan-hewan yang tidak ada di hutan Papua seperti zebra. Akibatnya mereka kesulitan untuk memahami pelajaran. “Jangankan punya bayangan, bermimpi saja tidak pernah. “, Bu Guru Diana menambahkan.
Karena hal itulah, Diana pun mencari akal agar siswanya tetap bisa belajar. Caranya dengan aktif mengajak siswa-siswinya belajar langsung bersama di alam terbuka. Anak-anak berhitung sambil bermain di rawa-rawa, lalu setiap pagi mereka menghafal perkalian sembari memetik buah mangga. Di dalam hutan, mereka bersama-sama membaca doa dalam Bahasa Inggris sebelum makan hasil bakaran. Diana membuat sendiri buku-buku materi pembelajaran dengan tulisan tangan. Isinya disesuaikan dengan kemampuan daya serap anak-anak.
Mbak Diana bertugas mengajar murid-murid kelas 6. Sehari-hari dia mengajar menggunakan Bahasa Indonesia. Dirinya tidak hanya berfokus pada Calistung alias baca, tulis, dan hitung. Tapi sudah mulai masuk pula ke materi kurikulum pembelajaran yang normal. “Untuk mengarang bebas sudah pernah kita coba, dan mereka bisa. Hanya kendalanya mereka belum bisa menulis atau mengarang dengan berbahasa Indonesia yang betul-betul (baik dan benar)” jelas cewek tangguh yang hobi membaca buku-bukunya Nawal El Sadawi, penulis novel feminisme asal Mesir.
Selama bertugas sebagai guru, dirinya tidak pernah membeda-bedakan muridnya. Termasuk saat menghadapi siswa disabilitas rungu itu. Anaknya tidak bisa berbicara dan sulit mendengar. Kalau diberikan pelajaran, harus diulang-ulang beberapa kali agar paham. “Dia sebenarnya tidak bisa disekolahkan di sekolah formal, “ aku Diana. Sayangnya tidak ada sekolah luar biasa (SLB) di Kabupaten Mappi. “Karena keinginan belajarnya tinggi, jadi saya tetap menyuruhnya belajar bersama siswa-siswa lainnya. ” jelas Diana. Walaupun demikian, ternyata bukan tanpa kendala. Watak anak tersebut cukup keras, Diana mesti ekstra sabar menghadapi siswa tersebut. Alhamdulillah usahanya membuahkan hasil, anak didiknya itu kini bisa melanjutkan pendidikan ke SMP.
Berbuat Baik Tanpa Merasa Rugi, Sambut Fajar Literasi di Papua Kini
Tahun 2023 menjadi momentum Mbak Diana di kancah nasional. Dirinya berhasil memenangkan penghargaan Satu Indonesia Award tingkat nasional dari PT. Astra International. Ajang perlombaan ini memilih anak muda inspiratif yang memiliki inisiatif untuk berbagi dengan masyarakat. Khususnya dalam bidang seperti kewirausahaan, teknologi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Diana mengaku tidak menyangka bisa memenangkan penghargaan ini.
“Lomba SIA 2023 ini merupakan satu lomba yang membuat saya sebenarnya sangat minder untuk mengikutinya. Karena lomba ini kebanyakan diikuti orang yang background pendidikan dan latar belakangnya yang luar biasa. ” terang Mbak Diana. Tapi motivasi utama Mbak Diana mengalahkan segalanya. Diana ingin anak-anak didiknya di Papua ini bisa mewujudkan impian mereka untuk menempuh pendidikan. Lewat Astra pula, Diana bisa bertemu dan berdiskusi langsung dengan orang-orang hebat semisal Dian Sastro, Prof. Emil Salim, mantan Menkes Bu Nila Moeloek, dan lain-lain.
Beberapa tahun belakangan, keadaan pendidikan di Papua Selatan sudah lebih baik. 80 persen anak-anak Papua yang bersekolah sudah bisa membaca dan menulis. Pun keadaan sekolahnya kini, perubahan yang dirasakan luar biasa. Gedung-gedung sekolah sudah diperbaiki. Peralatan dan perlengkapan sekolah seperti meja, bangku, dan papan tulis sudah sangat layak. Kekurangannya untuk saat ini, menurut Bu Guru Diana, sekolahnya masih kekurangan tenaga pengajar.
Kepala Badan Musyawarah Kampung Atti, Bapak Willem Pasim, mengaku senang atas kehadiran Diana dan rekan-rekannya. Pak Willem bersyukur bahwa anak-anak di sini sudah bisa membaca dan menulis. Bahkan yang usianya terkecil pun sudah pintar pula. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, warga kampung sering mengirimi Cikgu Diana makanan seperti daun ubi, ulat sagu, daging buaya atau ular. Anak-anak pun dengan rela membantu menimba air dari sumur, untuk kebutuhan sehari-hari para guru kesayangan mereka itu.
Berkat kemenangannya, Astra mengirimkan banyak bantuan untuk kemajuan SDN Kampung Atti. “Kami pergunakan dengan baik. Kami menggunakannya untuk membeli peralatan sekolah, sarana dan prasarana agar bisa dipakai anak-anak didik. ” kata Bu Diana. Tidak hanya itu, Astra juga memberikan hadiah berupa tablet untuk pembelajaran. Gadget tersebut kini digunakan anak-anak SDN Kampung Atti untuk belajar digital. Seperti membaca e-book, menonton Youtube, belajar mengetik dan internet. Mereka biasa melakukannya pada sore hari, usai kegiatan sekolah. Anak-anak sangat antusias menimba ilmu dan wawasan pakai tablet tersebut. Mereka jadi makin semangat bersekolah, karena bisa belajar banyak hal baru.
Kini Papua mulai berbenah. Geliat pendidikan mulai tumbuh di sana. Anak-anak sekarang bisa menatap masa depan dengan lebih baik. Teringat peribahasa asli Papua, “Apuni inyamukut werek halok yugunat tosu”. Artinya berbuat baik, tanpa merasa rugi. Sesungguhnya Papua membutuhkan lebih banyak insan-insan terbaik negeri ini seperti halnya Bu Diana. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang tulus mengajar, tanpa berbalik ragu saat melihat keterbatasan. Justru tembok penghalang itu kemudian dilangkahi dengan gagah berani. Demi mendidik generasi baru masa depan negeri ini. Berbakti pada Ibu pertiwi.
Sumber Artikel :
Cantika.com. 2024. Kisah Diana Cristiana Da Costa Ati, Guru Penggerak Daerah Terpencil di Papua Selatan. Diakses pada 8 Oktober 2024. https://www.cantika.com/read/1852534/kisah-diana-cristiana-da-costa-ati-guru-penggerak-daerah-terpencil-di-papua-selatan
Dapodik. (2024). Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah. Diakses dari: https://dapo.kemdikbud.go.id/sekolah/70E7D0211AAD1C7652A9
Suwandi, Dhias, Artik. Handi. 2022. Potret Pendidikan di Pedalaman Papua, Sekolah Sempat Tutup, Siswa Belajar Tanpa Seragam. Diakses pada 5 Oktober 2024. https://regional.kompas.com/read/2022/06/07/054500778/potret-pendidikan-di-pedalaman-papua-sekolah-sempat-tutup-siswa-belajar
Wawancara Pribadi. Diana Cristiana Dacosta Ati. (2024. Oktober)
Wuarmanus, Yustinus. 2022. Diana Cristina da Costa Ati : Mimpi Guru di Pedalaman Papua. Diakses pada 10 Oktober 2024. https://www.hidupkatolik.com/2022/02/04/58867/diana-cristina-da-costa-ati-mimpi-guru-di-pedalaman-papua.php