SEJARAH FEMINISME – Minggu Malam kemarin (19/07), Molzania mengikuti kajian yang diselenggarakan oleh lembaga The Center of Gender Studies membahas tentang serba-serbi paham Feminisme yang sekarang sedang marak digaungkan.
Kenapa Molzania tertarik mengikuti kajian di atas? Tak lain dan tak bukan karena Molzania pada dasarnya senang belajar sesuatu hal yang baru.
Pandemi memberikan benefit tersendiri bagi cewek tuna daksa seperti Molzania. Saat ini banyak banget webinar alias seminar berbasis online dengan berbagai tema.
Kebetulan kajian feminisme yang Molzania ikuti kali ini disajikan dalam Bahasa Inggris. Jadi Molzania pun bisa sekalian belajar listening.
Pembicara materi ini ada dua orang yakni dr. Regitha Yasmin, Sp.OG. seorang dokter kandungan, dan Sister Farhat Amin, penulis dan influencer muslimah asal UK.
Ikut Kajian Feminisme Internasional
Tema besar kajian ini ialah membahas feminisme dan family phobia. Menurut Molzania ini suatu hal yang amat menarik. Selama ini Molzania hanya tahu bahwa paham feminisme itu paham yang menitikberatkan pada kesetaraan gender.
Dikemukakan oleh bu dokter Regitha, bahwa saat ini banyak sekali Muslimah yang menjadi pasiennya mengeluhkan proses kehamilan dan persalinan yang menyakitkan.
Mereka kemudian memilih untuk ikut serta pada program KB. Di sisi lain, kasus aborsi dan ibu pengganti (surrogate mother) pun kian marak. Kebanyakan dari pelaku aborsi ialah wanita muda dengan beragam alasannya.
Farhat Amin menyebutkan, zaman sekarang umur wanita menikah kian meningkat. Jika pada tahun 1970, wanita rata-rata menikah pada umur 20,8 tahun dan laki-laki berumur 23 tahun. Tetapi pada tahun 2017, usia rata-rata wanita menikah pada 27,4 tahun dan laki-laki berumur 29.5 tahun.
Tak jarang pula, wanita memilih untuk tidak menikah. Mereka lebih fokus untuk mengembangkan karier dan mewujudkam ambisi. Wanita disarankan untuk berpergian ke luar negeri, memiliki pendapatan yang besar.
Disisi lain, mereka boleh untuk melakukan seks bebas dan melakukan homoseksualitas. Sesuai dengan moto feminisme, “Tubuhku adalah milikku”.
Hal ini merupakan dampak dari apa yang disuarakan dan digaungkan oleh kaum yang menyebut diri mereka dengan kelompok feminis. Lantas apa sih itu paham feminisme? Bagaimana sejarah feminisme bermula?
Asal Mula Paham Feminisme
Paham feminisme yang berkembang di dunia Barat tidak lepas dari pengaruh liberalisme. John Locke menulis dalam buku “Two Treatise of Government” menyatakan bahwa manusia itu terlahir dengan hak-hak alami yang sudah diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat diganggugugat.
Hak-hak ini meliputi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Manusia terlahir setara, dengan kata lain manusia memiliki nilai moral atau kesusilaan.
Kebebasan yang diagungkan oleh penganut liberalism melahirkan sejumlah pengekangan. Banyak pekerja, gelandangan, dan wanita berjuang untuk meraih hak-hak mereka.
Liberalisme mengedepankan kebebasan individu untuk berbuat sesuatu. Orang kaya dan penguasa bisa bebas menggunakan hak-hak asasi mereka, tetapi kalau orang miskin? Tidak sama sekali.
Paham feminisme lahir sebagai reaksi dari berbagai pengekangan terhadap wanita yang terjadi di dunia Barat. Akarnya berasal dari paham liberalisme yang sekuler.
Ide-ide John Locke tersebut membuat salah seorang wanita pelopor feminisme bernama Mary Wollstonecraft membuat sebuah buku berjudul “Pemulihan hak-hak asasi wanita” yang terbit tahun 1792.
Dalam buku tersebut, Mary mengemukakan pandangannya tentang ketidakadilan terhadap wanita yang didasarkan oleh pengalaman pribadinya sendiri.
Mary ternyata dibesarkan oleh seorang ayah pemabuk yang merampas harta warisnya. Dia tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Mary juga menyaksikan di lingkungannya banyak wanita harus berkerja keras dan hidup dalam kemiskinan karena tidak sekolah.
Tulisan Mary pada buku tersebut menjadi dasar pemikiran dari kaum feminis. Jadi pada awalnya komitmen feminis ialah untuk memperjuangkan kesetaraan hak asasi politik dan hukum wanita di tengah-tengah masyarakat liberalis.
Berbagai Gelombang Pemikiran Feminisme
Gelombang pertama feminisme sebagaimana yang kita tahu di atas didasarkan pada keinginan untuk memperoleh pendidikan dan warisan. Saat inilah menurut Farhat, untuk pertama kalinya kata patriarki digaungkan.
Pada masyarakat liberalis, patriarki merujuk pada kedudukan wanita yang dianggap selalu berada di bawah supremasi laki-laki. Wanita kerap dilecehkan dan diperlakukan secara tidak adil oleh pria.
Selanjutnya paham feminisme di Barat melahirkan reaksi terhadap perlakuan buruk terhadap wanita baik di lingkungan kerja dan keluarga. Para wanita menuntut perlindungan hukum dan hak yang sama yang dimiliki pria.
Betty Friedan, seorang penulis feminis pada bukunya “The Feminine Mystique” menemukan bahwa hal yang mendasari ketidakbahagiaan yang dialami wanita lebih karena perannya sebagai istri dan ibu.
Apa yang disebutnya sebagai “masalah tak bernama” itu membuatnya berkesimpulan bahwa rumah adalah kamp konsentrasi.
Kamp konsentrasi digunakan pada zaman perang dunia untuk menahan warga sipil yang dianggap berbahaya oleh pemerintah, digunakan untuk menyiksa dan memaksa mereka berkerja tanpa henti.
Atas dasar itulah, sejumlah pandangan feminis kemudian berfokus pada diri, psikologi dan aspek seksual pada wanita.
Gerakan Feminisme Abad 21
Melalui kampanye “Tubuhku adalah Milikku” feminis menyuarakan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin. Menurut mereka, gender itu sebuah konstruksi sosial yang dibangun oleh budaya masyarakat tertentu.
Feminis mengibaratkan jenis kelamin itu erat kaitannya dengan unsur biologis yang dimiliki oleh wanita dan pria.
Sedangkan gender dibangun sesuai stereotipe dalam masyarakat. Laki-laki bertugas mencari nafkah, sedangkan wanita mengurusi rumah tangga.
Padahal antara gender dan jenis kelamin dalam Bahasa Inggris sama-sama disebut ‘sex’. Maka dari itu, feminis mengharapkan kesetaraan gender agar wanita juga setara hak asasinya dengan kaum pria.
Simone de Beauvoir mengemukakan bahwa, “Perempuan seharusnya tidak diizinkan berada di rumah dan membesarkan anak. Perempuan tidak memilih untuk berada di rumah, karena jika pilihan itu ada maka banyak perempuan akan melakukannya. Ini jalan untuk memaksa wanita untuk berada pada jalur yang tertentu”.
Kita bisa melihat apa yang dikemukakan oleh Simone di atas. Secara tidak langsung feminis menentang perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Itu artinya mereka sendiri juga memaksakan kehendaknya dan menganggap itu sebagai sebuah kebenaran.
Menurut Farhat, sejak tahun 1990, sudah banyak pemahaman yang menyimpang dari tujuan asal feminisme. Gerakan feminisme banyak yang disusupi oleh gerakan lain.
Anehnya penyimpangan ini, menurut Kimberly Crenshaw, adalah sebuah penegasan bahwa wanita mengalami penindasan yang berlapis-lapis yang disebabkan oleh gender, ras dan kelas sosial dalam masyarakat.
Gelombang pemikiran feminis sejak tahun tersebut berfokus pada isu kebebasan seksual. Isu ini mendukung bahwa wanita memiliki pilihan untuk memilih seksualitasnya dalam rangka mengembalikan harkat martabat wanita. Gerakan LGBT pun ikut andil dalam feminisme.
Pada pertengahan tahun 2000, pelegalan dan pengesahan nikah sejenis mulai digaungkan feminis. Termasuk diantaranya semua hal yang menyangkut seksualitas. Tidak hanya LGBT, tetapi bertambah menjadi LGBTQ++.
Bersambung ke bahasan “Feminisme dan Fobia Keluarga”
Catatan: Molzania berusaha untuk menulis berdasarkan slide presentasi yang diberikan oleh Sister Farhat Amin. Materi disajikan dalam Bahasa Inggris. Tetapi Molzania menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia disertai sedikit tambahan berupa opini pribadi.