2,268 Views
Identitas Buku:
Judul : Pawon Bumbu Sehat untuk Berpikir
Penulis : Maia Rahmayati
Penyunting : Dedy Ahmad Hermansyah
Perancang Sampul dan Isi : Cepot Doank
Pemeriksa Aksara : Asbara
Penerbit : Taman Baca
Hal : 272
Tahun : 2017
ISBN : 978-602-7731-76-9
Sekilas buku ini tampak menggiurkan. Bagi yang tak biasa mendengar kata “Pawon” mungkin akan sedikit bingung. Ternyata judul pawon artinya dapur. Diambil dari bahasa daerah suku Sasak di Lombok, NTB yang merupakan kota asal penulis. Mbak Maia, selaku penulis, mencoba untuk mengajak kita mengenal lebih jauh sebuah “pawon”. Bahwa ternyata ada banyak hal yang menarik untuk dibicarakan tentang makna sebuah dapur.
Dilihat dari covernya, buku ini termasuk unik. Covernya bergambarkan cobek lengkap dengan isinya. Mungkin sebagian ada yang mengira ini buku resep atau menu dari sebuah restoran. Nyatanya buku ini memang banyak bercerita tentang makanan berikut bumbu-bumbunya. Pada beberapa halaman bahkan terdapat resep masakan khas NTB yang layak dicoba. Sesuai judulnya buku ini mengajak kita berpikir lebih jauh dari makna sebuah dapur.
Buku ini sebenarnya murni kumpulan tulisan blog milik penulis yang telah diterbitkan dalam beberapa tahun. Kebanyakan mengupas tentang keseharian penulis yang juga seorang ibu rumah tangga. Sosok Inaq (ibu-bahasa lombok) yang merupakan panggilan penulis untuk ibunya, menginspirasinya untuk menulis. Disini diceritakan bagaimana penulis kemudian terobsesi dengan beragam aktivitas di dapur, sebuah tempat yang penuh kenangan bersama sang inaq.
Dari pengalaman masa kecilnya, dapur merupakan tempat yang paling menyenangkan. Disana penulis sembari membantu sang inaq memasak ia juga belajar tentang kehidupan. Sosok lainnya yang menginspirasi ialah sang papuq (nenek-bahasa Sasak). Diceritakan penulis kerap menerima nasihat dan wejangan yang disarikan dari rempah-rempahan.
Tentang kunyit, Papuq suatu ketika berkata padaku
“Jika dirimu kunyit dengan warna kemerahan, sesungguhnya kau
dapat melakukan banyak hal tanpa mengubah
prinsipmu tentang kebenaran”.. (dikutip dari Pawon-Maia Rahmayati)
Sisi lain penulis yang coba diulas di buku ini ialah gaya bertuturnya yang beda dari yang lain. Menurutnya dapur bukanlah sekadar tempat untuk memasak. Melainkan juga tempat untuk berbagi cerita dan pendapat tentang banyak hal. Banyak aspek yang diulas oleh penulis di buku ini. Dari mulai ekonomi, agama, hingga politik. Semuanya dari perspektif ala dapur yang merupakan tempat para istri bernaung sehari-hari.
Disini kita juga bisa ikut menikmati keseharian masyarakat NTB. Pelecing kangkung dan masakan asli NTB menjadi lebih dari sekedar pengisi meja makan. Dari sosok seorang inaq yang banyak memikirkan tentang hal-hal remeh temeh di dapur, Seorang inaq yang bertugas sebagai ibu dari anak-anaknya. Seorang inaq yang kadang kuatir tentang harga-harga sayuran yang meroket. Ada kalanya pula penulis coba untuk membandingkan antara masa lalunya dengan apa yang kini tengah dilaluinya.
Pengalaman demi pengalaman yang dilalui penulis juga banyak diceritakan disini. Termasuk pengalaman wawancara langsungnya untuk penelitian skripsi semasa menjadi mahasiswa. Dari cerita ini, Molzania belajar mengenai kehidupan rakyat NTB menengah ke bawah, Masalah klise dibalik kemiskinan namun tak habisnya memberikan suntikan semangat.
Tak ubahnya seorang manusia, penulis juga memberikan pendapatnya terhadap pemerintah lewat racikan tulisannya yang menggugah. Namun disampaikan dengan gaya elegan khas ibu rumah tangga. Menyoroti tentang blusukan Presiden RI ke daerah NTB. Pada akhirnya penulis pun menyampaikan rasa optimisme untuk pembenahan kemajuan.
Bagaimanapun penulis juga menyimpan kekaguman kepada sosok RA Kartini. Perempuan penuh dedikasi ditengah keterbatasan. Kesimpulannya buku ini menceritakan tentang sisi lain dari seorang perempuan. Bahwa perempuan sejatinya bisa melebihi kodratnya. Tidak hanya menjadi sosok ibu, tapi juga bisa menjelma menjadi ekonom, wartawan, bahkan seorang negarawan.