TRADISI NGOBENG DI KOTA PALEMBANG – Siapa sih yang tidak suka makan? Manusia hidup pasti butuh makanan. Jadi semua orang pasti suka makan. Apalagi Indonesia memiliki surga makanan yang beragam.
Negeri yang kaya akan bumbu dan rempah-rempahan. Khazanah kuliner nusantara kalau dijelajahi satu-satu tiada habisnya. Dari sabang hingga merauke tak terhitung jumlahnya.
Setiap daerah memiliki ciri khas kuliner yang berbeda-beda. Tradisi dan adat istiadat pun mewarnai setiap acara makan tiba. Setiap makanan khas daerah memiliki citarasa dan cerita tersendiri. Perbedaan budaya tak jadi masalah.
Akan tetapi malah saling melebur lalu muncul kembali menjadi satu kesatuan yang harmonis. Akulturasi pelbagai budaya di Indonesia dapat kita simak dalam wujud kuliner dan tradisi yang menyertainya.
Melalui dunia kuliner ini, masyarakat Indonesia seolah dipersatukan. Keberagaman dan budaya toleransi dapat kita saksikan melalui acara makan bersama. Belum lagi fakta bahwa rata-rata masakan khas Indonesia merupakan percampuran dari banyak budaya, dari beragam suku bangsa.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sumatera Selatan ternyata tidak hanya kaya akan sumber daya alam. Tetapi juga kental sama tradisi dan adat istiadat.
Teringat pepatah Jawa yang berbunyi, “mangan ora mangan sing penting ngumpul, yang erat kaitannya dengan filosofi kekeluargaan. Molzania jadi teringat kebiasaan rakyat Palembang yang identik dengan acara makan bersama. Istilahnya dikenal dengan nama ngidang dan ngobeng.
Tradisi Ngobeng yang Mewarnai Acara Hajatan Wong Plembang
Bagi Molzania yang merupakan keturunan orang Palembang asli, sudah menjadi kebiasaan keluarga untuk melakukan ngidang dan ngobeng. Tradisi ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari wong Palembang.
Meski kini banyak digantikan dengan yang lebih praktis dan modern seperti ‘buffet’ ala Perancis alias prasmanan.
Tapi Molzania masih melihat kalau setiap ada hajatan yang dilakukan di rumah, pastilah tradisi ngidang dan ngobeng akan dijalankan.
Mungkin ini juga dipengaruhi oleh peranan para orangtua, dalam hal ini mamang, bibik, dan uwak-uwak, untuk melestarikan budaya daerah.
Lantas apa sih yang dimaksud dengan ngidang dan ngobeng? Tradisi ngobeng adalah acara makan bersama dimana kita duduk lesehan bersama, sebagaimana kebiasaan Melayu.
Lalu diberi satu buah nampan besar di tengah berisi makanan khas Palembang. Jumlahnya untuk porsi delapan hingga sepuluh orang dalam satu nampan.
Di bawah nampan dialasi selembar kain. Alasannya sih kalau kata mama Molzania biar makanannya jatuh tidak mengotori rumah.
Biasanya makanan yang disajikan akan disesuaikan dengan waktu makan. Ngobeng juga sering dinamakan dengan ngidang yang juga berarti menghidangkan dalam Bahasa Palembang.
Jika di pagi hari, makanan yang disediakan biasanya berupa burgo atau laksan yang menandakan waktu sarapan. Lain lagi untuk siang atau sore hari, maka makanan yang disantap bisa berupa nasi dan lauk pauknya, model atau tekwan.
Kalau malam hari biasanya pempek kapal selam karena lebih mengenyangkan. Tak hanya menu utama, tersedia pula menu pencuci mulut berupa kue-kue tradisional khas Palembang. Tradisi menyediakan menu pencuci mulut setelah ngobeng ini, dinamakan kambangan.
Tradisi ngobeng konon berasal dari budaya Arab yang memang lekat dengan kehidupan wong kito galo yang mayoritas muslim. Diperkirakan tradisi ini dimulai sejak era Kesultanan Palembang Darussalam.
Meskipun demikian, di Bali ternyata juga ada tradisi acara makan yang mirip-mirip. Namanya megibung. Perbedaannya dengan ngobeng, tradisi megibung sarat dengan aturan-aturan yang tegas. Sementara tradisi ngobeng di Palembang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan keadaan.
Apa yang Dapat Dipelajari dari Tradisi Ngobeng ?
Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari dari tradisi ngobeng. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Kebersamaan
Dalam acara makan bersama ala tradisi ngobeng, semua orang baik tua, muda, dan anak-anak membaur satu sama lain. Tercipta suasana keakraban diantara semua orang. Silaturahmi pun terjaga dan tidak luntur.
Tradisi ini biasanya dilakukan ketika ada hajatan seperti pernikahan, sedekahan, syukuran, atau yasinan orang meninggal. Kita juga bisa berjumpa dengan teman baru dan kerabat jauh yang jarang bertemu tiap harinya.
Gotong Royong
Ketika membawa makanan, dilakukan dengan cara mengoper alias estafet dari orang ke orang. Orang-orang biasanya berdiri dalam satu barisan. Untuk membawa hidangan hingga sampai ke tempat acara makan.
Selain itu, sehari sebelum acara makan, para wanita biasanya berkumpul bersama untuk masak-memasak di dapur.
Sopan Santun
Orang Palembang sangat menjunjung tinggi etika kesopanan dalam setiap budaya dan adat istiadatnya.
Dalam tradisi ngobeng, biasanya akan dikumpulkan dalam satu nampan orang-orang dengan jenis kelamin, usia dan strata sosial yang sama.
Para tetua dengan para tetua alias orang-orang yang dihormati. Lelaki dengan lelaki. Wanita dengan wanita. Para tetua pun didahulukan mendapat makanan dan ambil piring. Anak muda? Terakhir. xD
Toleransi
Kita juga diajarkan untuk bersikap saling hormat-menghormati. Terutama bersikap baik kepada tamu. Tuan rumah beserta keluarganya berkerjasama untuk memberikan pelayanan yang baik.
Sebagai tamu, ya jadi tamu yang baik. Mulai dari tata cara penghidangan makanan, kebersihan, dan sikap ramah kepada tamu yang datang.
Hidup Sederhana dan Rendah Hati
Tradisi ngobeng membuat kita mengambil makanan seperlunya saja. Ambil makanan dari yang paling dekat dijangkau. Bertenggang rasa sama orang lain kalau makanannya tinggal sedikit.
Kebiasaan orang Palembang dibilang pamali’ kalau ambil makanan banyak-banyak. Nanti dibilang rakus, hehe. Gak sopan. Selain itu hal tersebut membuat kita terhindar dari kebiasaan mubadzir alias buang-buang makanan.
Akulturasi Kuliner Palembang dalam Tradisi Ngobeng – Ngidang
Pada dasarnya, kuliner daerah itu tak lepas dari ragam potensi alam daerah yang bersangkutan. Ditambah dengan akulturasi berbagai budaya dari penduduk yang tinggal di dalamnya.
Begitu pula dengan aneka kuliner Palembang yang disajikan dalam tradisi ngobeng. Secara umum, kuliner Palembang yang tersaji tak berbeda jauh dengan kuliner daerah lainnya di Sumatera.
Jangankan dua daerah yang berdekatan, bahkan dua negara juga memiliki kuliner yang sama persis. Hanya saja berbeda cara pembuatan dan penamaannya saja.
Contohnya saja kuliner Jepang dan Korea. Di Jepang, kita mengenal sushi dan mie ramen. Di Korea, kuliner yang bentuknya bagai pinang dibelah dua ini disebut Gimbap dan mie Ramyeon. 🙂
Sebetulnya sudah Molzania sebut di atas, sih. Pada tradisi ngobeng, kuliner Palembang yang disajikan berbeda-beda berdasarkan jam makannya.
Saat makan siang. biasanya disajikan nasi dan lauk pauknya. Ada dua jenis nasi; nasi minyak dan nasi putih. Sedangkan untuk lauk pauk (iwak) ada malbi, sate pentul, ayam kecap, dan sebagainya.
Temannya ada pula sambal nanas dan acar. Sementara itu untuk buah-buahan biasanya ada nanas (pulur) dan semangka. Nikmat!
Fyi, nasi minyak itu mirip kayak nasi kebuli khas Arab. Rasa gurihnya berasal dari campuran minyak samin dan daun kari. Nasinya berwarna kuning dan kaya akan rempah-rempah seperti cengkih, lawang, kapulaga, adas, dan pala. Nasi minyak juga terkenal di daerah Jambi.
Tata cara menghidangkan pun dibuat khas. Nasi diletakkan di tengah-tengah nampan, lalu dikelilingi oleh lauk-pauk. Untuk aneka pulur dan buah dihidangkan di sebelahnya.
Jumlahnya masing-masing ada empat piring. Barulah kemudian piring yang berjumlah delapan dan air mineral diletakkan. Unik ya?
Setelah makan siang dilangsungkan dilanjutkan dengan kambangan. Molzania paling hepi sama yang satu ini. Itu artinya kue-kue tradisional khas Palembang pun giliran dihidangkan.
Siapa sih yang nggak suka sama kue dan camilan? Apalagi bentuknya cakep dan berwarna-warni. Kue khas Palembang itu bermacam-macam; mulai dari engkak medok, engkak kicut, bugis, wajik, maksuba, klepon, bolu kojo, dan lain sebagainya. Masih muat, kok! *elus perut.
Menariknya kue-kue tradisional khas Palembang itu pun juga merupakan percampuran kuliner dari berbagai budaya. Klepon misalnya, berasal dari Jawa namun juga populer di restoran Cina dan Belanda.
Pun di Palembang, klepon jadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Adanya akulturasi ini menandakan bahwa hidangan nusantara begitu melekat di hati rakyat Indonesia. Untuk itu, mari kita bersama melestarikan kuliner negeri untuk mempersatukan Indonesia!
Sumber :
Dewi, Dinda Silviana. 2020. Sejarah Klepon Makna dan Cara Membuatnya.https://tirto.id/sejarah-klepon-makna-dan-cara-membuatnya-fSxQ
Fitriah. 2019. Nilai Kearifan Lokal Dalam Tradisi “Ngobeng”; Di Desa Sri Bandung Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam. Vol. 19. No. 3.
Gardjito, Murdijati., Fajar Ayuningsih, dan Chairunisa Chayatinufus. 2017. Kuliner Jambi Telusuri Jejak Melayu, Sedap Meresap dalam Kalbu. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Marison, Ferly. 2020. Ngidang, Tradisi Bersantap yang Mulai Tergerus Prasmanan. https://rri.co.id/palembang/feature/929891/ngidang-tradisi-bersantap-yang-mulai-tergerus-prasmanan?page=2
Putra, Aji YK. 2019. Pemkot Palembang Daftarkan Tradisi Ngobeng ke UNESCO. https://palembang.kompas.com/read/2019/11/27/06371101/pemkot-palembang-daftarkan-tradisi-ngobeng-ke-unesco
Susanti. Helen, Arma Mita, Cendekiawan Arief R. 2019. Ngobeng dan Kambangan : Warisan Budaya yang Mulai Tergerus Arus Globalisasi. Seminar Nasional Sejarah IV, Palembang.
Syailendra. 2019. Tradisi Ngobeng Jaga Nilai Persaudaraan. https://britabrita[dot]com/tradisi-ngobeng-jaga-nilai-persaudaraan/
Aku baru tau istilahnya ngobeng. Aku berasal dr Lampung, tp tinggal di kampung yg isinya org Palembang semua. Tp baru tau ngobeng hehe.
Klo ngidang emg udah tradisi sejak lama.